Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur – Di sudut tenang Desa Jantur Selatan, tepi Danau Jempang menyimpan cerita hidup yang penuh liku dari para nelayan tangkap. Angin pagi membawa aroma segar air danau, sementara suara mesin ketinting yang baru dihidupkan bergema di kejauhan. Di antara suara tersebut, ada satu mesin yang bekerja lebih keras, memecah kesunyian dengan deru yang tak asing lagi bagi Barkati, seorang nelayan tangkap dan anggota Kelompok Maju Bersama.
Barkati mengingat betul momen saat kelompoknya pertama kali menerima bantuan dari Pemkab Kutai Kartanegara (Kukar) pada 2019. “Mesin ketinting pertama yang kami terima waktu itu benar-benar menjadi penyelamat. Perjalanan kami ke Danau Jempang untuk menangkap ikan menjadi lebih mudah dan cepat,” ujarnya sambil menyeka keringat di dahi. Mesin-mesin ini, dengan kapasitas 16 PK, bukan sekadar alat bagi Barkati dan rekan-rekannya; mereka adalah penghubung antara keberanian melawan alam dan kemampuan membawa pulang hasil tangkapan untuk keluarga di rumah.
Dulu, dengan mesin ces yang hanya berkapasitas 5 atau 6 PK, nelayan seperti Barkati harus berjuang keras. “Mesin-mesin kecil itu kadang tidak kuat melawan arus, apalagi kalau angin kencang,” kenangnya. Tapi kini, perahu-perahu fiber sepanjang tujuh meter yang dibekali mesin-mesin baru itu melaju dengan percaya diri, menantang danau dengan tenang. “Bahan fiber ini juga lebih tahan lama, bisa sampai lima atau enam tahun digunakan untuk bekerja,” kata Barkati, menjelaskan betapa pentingnya perahu-perahu ini bagi kelangsungan mata pencaharian mereka.
Namun, tidak semua kisah adalah cerita kemenangan. Harga ikan nila, tangkapan utama di Danau Jempang, kini sedang berada di titik terendah. “Sekarang ini, harga sekilo ikan nila cuma Rp1.000. Itu pun sulit terjual,” keluh Barkati. Ketika harga bahan bakar melambung hingga Rp14.000 per liter, setiap tetes pertalite terasa mahal, membawa beban yang lebih berat ke bahu nelayan. “Kami sudah diminta pemkab membuat kartu, katanya untuk subsidi minyak. Itu yang kami tunggu-tunggu,” tambahnya, matanya penuh harap.
Di tempat lain, di Desa Liang, Kecamatan Kota Bangun, seorang nelayan tangkap bernama Rusman menjalani kehidupan dengan kerendahan hati yang sama. Di usianya yang baru 35 tahun, Rusman telah menaklukkan Danau Pela sejak ia remaja, meski hanya bersenjatakan ijazah SD dan pengalaman bertahun-tahun. “Saya ini hanya lulusan SD dan jadi nelayan sejak usia belasan tahun,” katanya dengan nada rendah. Meskipun belum merasakan bantuan langsung dari program Kukar Idaman, Rusman tidak bisa menutupi kekagumannya terhadap perubahan yang dibawa program ini. “Saya bisa melihat sendiri, di danau-danau, di sungai-sungai, banyak perahu (bantuan) Kukar Idaman. Sebelumnya, tidak pernah nelayan seramai ini berperahu ke danau mencari ikan,” ucapnya, dengan mata yang bersinar melihat kebangkitan desanya.
Bagi Rusman, keberhasilan program ini adalah pengingat bahwa impian bisa terwujud, asalkan ada kesabaran dan ketekunan. “Saya dan kelompok sudah mengajukan usulan bantuan perahu dan mesin. Sampai sekarang, kami masih menunggu giliran. Tapi saya yakin, program ini tidak akan berhenti di sini,” katanya dengan penuh keyakinan. Ia berharap, ketika giliran itu tiba, ia akan menjadi salah satu penerima bantuan yang dapat memperbarui semangat kerjanya.
Di balik kisah-kisah ini, Program Kukar Idaman telah menorehkan jejak yang dalam di hati masyarakat nelayan Kutai Kartanegara. Program ini tidak hanya memberikan alat, tetapi juga menyuntikkan harapan baru bagi mereka yang bertahan hidup di tengah kerasnya alam. Namun, program ini masih memerlukan peningkatan—subsidi bahan bakar yang ditunggu-tunggu, alat tangkap yang lebih lengkap, dan dukungan yang lebih merata di seluruh desa.
Keberhasilan Program Kukar Idaman memang nyata, tetapi keberlanjutan dan penyempurnaannya adalah kunci untuk memastikan bahwa apa yang telah dimulai oleh Bupati Edi Damansyah dan Wakil Bupati Rendi Solihin tidak berhenti di sini. Bagi nelayan seperti Barkati dan Rusman, program ini bukan hanya bantuan sesaat, tetapi jalan menuju masa depan yang lebih baik. Dan mereka hanya bisa berharap bahwa jalan tersebut akan terus terbuka, memberi mereka kesempatan untuk tetap melaut, membawa pulang ikan, dan dengan itu, menghidupi keluarga mereka dengan penuh harapan. (AdminPena)