Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur – Di bawah naungan Lamin Sungai Bawang yang kaya dengan ukiran tradisional, suasana kampanye Edi Damansyah berubah menjadi momen yang sarat makna. Di sana, bukan hanya tentang sebuah janji politik, melainkan pertemuan yang hangat antara seorang pemimpin dan rakyatnya. Ornamen khas Dayak menghiasi dinding lamin, seolah ikut menyaksikan percakapan yang berlangsung di dalamnya. Warga yang datang sebagian besar adalah petani, para pekerja keras yang bergantung pada tanah untuk kehidupan sehari-hari. Mereka tampak menyatu dalam balutan kaos kampanye, dengan sorot mata penuh harapan.
Seorang petani maju ke depan, melontarkan suara hatinya yang selama ini mungkin hanya terpendam di ladang-ladang kering. “Yang ingin saya sampaikan adalah tentang pertanian, Pak. Di wilayah Sungai Bawang, mayoritas penduduknya adalah petani, dan kami hanya bisa bercocok tanam di ladang,” ungkapnya, suara yang bercampur antara rasa hormat dan kegelisahan. Ada keinginan besar untuk memperbaiki nasib, namun terbentur keterbatasan lahan dan pengetahuan. Mereka ingin menanam padi di sawah, namun kendala teknis masih menghalangi langkah mereka. Pematang sawah yang belum tersedia, ilmu bercocok tanam yang masih asing, serta minimnya dukungan infrastruktur menjadi tantangan yang tidak mudah.
Edi Damansyah mendengarkan dengan seksama, menatap warga yang mengelilinginya, satu per satu. Di tangannya terdapat brosur program yang telah lama dipersiapkan, sebuah cetak biru untuk masa depan yang lebih baik bagi para petani di pelosok. Brosur itu bukan hanya selebaran kertas; di dalamnya tersemat harapan dan janji untuk mengubah kondisi hidup mereka. “Di brosur ini, ada program bantuan untuk 100.000 petani dan nelayan,” jelasnya, dengan nada yang penuh keyakinan. Edi berbicara bukan sebagai politisi yang hanya menjanjikan keberlanjutan pembangunan, tetapi sebagai seseorang yang memahami akar persoalan.
Ia pun menjelaskan lebih lanjut tentang program pelatihan untuk para petani, sebuah langkah awal untuk memberikan bekal pengetahuan. “Saya berterima kasih kepada masyarakat yang ingin mengelola sawah. Di Sungai Bawang ini, potensi untuk pengembangan sawah juga sangat besar,” ujarnya. Dengan penuh semangat, ia mengungkapkan rencana anggaran 100 miliar rupiah yang telah dialokasikan khusus untuk kawasan pedesaan, sebuah angka yang tidak kecil dan diharapkan mampu membuka jalan baru bagi para petani.
Di balik penjelasan tersebut, tergambar visi besar yang diusungnya. Edi berbicara dengan penuh antusias, seolah membayangkan masa depan di mana Kutai Kartanegara tidak hanya bergantung pada sektor industri tetapi juga mengandalkan kekuatan dari pertanian. “Kenapa fokus lebih besar diberikan pada sektor pertanian?” tanyanya retoris, mengajak warga untuk memahami visi besar di balik program tersebut. “Karena cita-cita kita adalah menjadikan negara ini sebagai penghasil utama,” lanjutnya, menekankan bahwa langkah ini bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan lokal tetapi juga sebagai upaya untuk memperkuat ketahanan pangan nasional.
Ucapan Edi membangkitkan semangat di hati para warga. Tepuk tangan mulai menggema, memenuhi setiap sudut lamin yang berdiri kokoh di Desa Sungai Bawang. Warga tidak hanya mendengar, tetapi mulai membayangkan masa depan yang lebih cerah. Bagi mereka, Edi bukan sekadar pemimpin yang berdiri jauh di atas panggung kekuasaan, tetapi sosok yang hadir di tengah-tengah mereka, mendengar dan memberikan solusi nyata.
Dengan senyum tulus, Edi melihat ke arah warga, seakan meyakinkan bahwa impian mereka tidak akan dibiarkan menguap begitu saja. Di bawah atap Lamin Sungai Bawang, harapan para petani yang dulu terbatas kini perlahan-lahan menemukan jalan untuk berkembang. Kampanye itu bukan hanya soal janji, tetapi sebuah komitmen untuk bersama-sama melangkah menuju keberlanjutan pembangunan yang nyata. (AdminPena)