
Samarinda, Kalimantan Timur – Seminar Nasional yang digelar oleh Bank Indonesia (BI) Perwakilan Kalimantan Timur (Kaltim) dan Pemerintah Provinsi Kaltim mengangkat tema besar tentang transformasi ekonomi daerah ini, yang saat ini sangat bergantung pada sektor ekstraktif seperti migas dan batu bara. Acara yang berlangsung pada Selasa (4/12/2024) di Samarinda ini bertujuan menggali berbagai solusi bagi ekonomi Kaltim agar lebih inklusif dan berkelanjutan di tengah tantangan global yang semakin kompleks.
Kalimantan Timur, yang pada tahun 2023 mencatatkan kontribusi ekspor terbesar ketiga di Indonesia dengan nilai mencapai 10,43 persen, serta menjadi salah satu provinsi dengan nilai investasi tertinggi, mulai merasakan kebutuhan untuk mengalihkan ketergantungannya pada sumber daya alam (SDA) yang tidak dapat diperbarui.
Kepala Perwakilan BI Kaltim, Budi Widihartanto, menyatakan bahwa meskipun ekspor dan investasi merupakan sektor penting, Kaltim harus segera melakukan diversifikasi ekonomi untuk menciptakan perekonomian yang lebih berkelanjutan.
“Kaltim perlu bergerak cepat, mengingat ketergantungan yang tinggi pada sektor ekstraktif. Diversifikasi ekonomi menjadi kunci utama agar lebih inklusif dan tahan terhadap fluktuasi global,” ungkap Budi dalam sambutannya.
Kondisi Ekonomi Kaltim yang Rentan dan Urgensi Diversifikasi
Pada kesempatan yang sama, Edi Wibowo, Direktur Bioenergi, mengungkapkan tiga tantangan utama yang harus dihadapi Kaltim dalam transisi ekonominya. Pertama adalah ketidakpastian ekonomi global yang diprediksi semakin memburuk pada 2024, kedua adalah dampak dari pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN), dan ketiga adalah komitmen Indonesia untuk mencapai Net Zero Emission (NZE).
“Selama sepuluh tahun terakhir, Kaltim hanya mencatatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 2,10 persen, yang terendah di Indonesia. Sektor ekstraktif telah dominan begitu lama, dan kita perlu memikirkan keberlanjutan ekonomi yang lebih baik di masa depan,” kata Edi Wibowo.
Selain itu, Edi juga mencatat ketegangan geopolitik global, terutama antara Amerika Serikat dan China, yang bisa mengganggu stabilitas ekonomi dunia dan berdampak pada perekonomian daerah yang sangat bergantung pada ekspor komoditas. Untuk itu, menurutnya, penting bagi Kaltim untuk segera merencanakan langkah-langkah yang lebih bersifat jangka panjang dengan mendorong energi terbarukan dan industri hijau.
Membangun Kolaborasi Lintas Sektor untuk Transisi Energi
Sebagai bagian dari upaya diversifikasi ekonomi, Edi menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, BUMN, akademisi, dan masyarakat dalam mendorong transisi ke energi baru dan terbarukan (EBT). Menurutnya, tanpa adanya kerja sama yang sinergis, transisi energi yang diharapkan akan sulit tercapai dengan optimal.
“Semua pihak perlu berperan aktif, terutama dalam mendorong pengembangan Energi Baru dan Terbarukan. Tanpa kolaborasi ini, upaya kita untuk mencapai ekonomi hijau dan berkelanjutan akan terhambat,” tambahnya.
Ketergantungan pada Sumber Daya Alam Rentan Terhadap Krisis
Sementara itu, Aji Sofyan Effendi, Ketua Tim Kajian Transformasi Ekonomi Kaltim, mengkritik ketergantungan Kaltim pada sektor sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui. Sebanyak 48 persen dari APBD Kaltim saat ini bergantung pada Dana Bagi Hasil (DBH) SDA, yang dipandang sangat rentan terhadap gejolak harga komoditas global.

“Kaltim saat ini masih sangat bergantung pada sektor yang tidak terbarukan, dan itu jelas menempatkan kita dalam posisi yang sangat rentan. Tidak ada blueprint yang jelas dalam transformasi ekonomi, dan kita harus segera menyiapkan langkah konkret agar tidak terjebak dalam ketergantungan yang lebih dalam,” tegas Aji.
Menuju Ekonomi yang Lebih Mandiri dan Berkelanjutan
Seminar ini menegaskan bahwa bagi Kaltim, transformasi ekonomi bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Agar perekonomian Kaltim lebih inklusif dan berkelanjutan, pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat perlu segera merancang kebijakan yang lebih terarah dan melibatkan berbagai sektor dalam menciptakan alternatif ekonomi yang lebih mandiri.
“Diperlukan langkah nyata, bukan hanya wacana. Kaltim punya potensi besar, tapi kita harus segera beradaptasi dan memperkuat sektor-sektor lain selain SDA untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi global,” tutup Aji Sofyan.
Dengan hasil kajian yang telah dipaparkan dalam seminar ini, diharapkan dapat menjadi acuan bagi kebijakan-kebijakan pemerintah dan langkah-langkah strategis dalam mempersiapkan Kaltim untuk menghadapi masa depan yang lebih mandiri, inklusif, dan berkelanjutan. (AdminPena/AdS)